Berikut adalah beberapa gelaran kepada Fathimah Az-Zahra dan maksud-maksudnya.
Fatimah
-Kerana Allah menjauhkannya, keturunannya dan pencintanya dari api neraka.
-Selain daripada maksud tersebut, dari Imam Jaafar as. : Kerana manusia tidak akan mengenal kebesaran Fatimah kecuali Allah swt. dan ayahnya Muhammad saww.
-Kerana beliau telah diberikan seluruh ilmu.
Manshurah
-Yang memperoleh pertolongan
-Nama ini yang paling terkenal di langit (Jibril as memanggil dgn nama ini)
-Tidak pernah Fatimah sa. menolak orang yang bertawasul kepadanya meminta pertolongan.
Az-Zahra'
-Terang benderang.
-Kerana ketika beliau masuk ke mihrabnya beribadah dan bermunajat kepada Allah, cahayanya menerangi penghuni langit seperti bintang-bintang yang menerangi penghuni bumi.
-Imam Ali as.:Setiap kali aku dalam kesulitan atau kesedihan,pasti aku akan melihat Fatimah sa. maka akan hilanglah semua kesulitan dan kesedihan tesebut.
Siddiqah
-Yang paling jujur.
-Sama sekali tidak pernah berbohong
-Bukhari : Rasul saww. : Fatimah adalah sebahagian daripada diriku (semua yang ada Rasul saww, dimiliki oleh Fatimah sa.),siapa yang buat beliau marah, yakni membuatku marah.
-Hadis lain,Rasulullah saww.:Fatimah sa. adalah jiwa dan hatiku yang ada dibenakku.
Al-Mubarakah
-Yang membawa barakah
-Setiap apa yang disentuh oleh Fatimah sa. membawa barakah.
-Sumber semua barakah adalah fatimah sa.
At-Thahirah
-Suci.
-Fatimah telah disucikan oleh Allah swt.
Zakiyyah
-Bersih, indah dan harum.
Ar-Radhiyyah
-Yang menerima seluruh ketentuan Allah swt. dan tidak pernah menolak.
-Fatimah melihat rumah itu syurga,mendidik anak-anak dan mengurus rumah tangga adalah ibadah,siang beliau mengurus rumah tangga, manakala di malamnya beribadah dan bermunajat kepada Allah swt.
Mardhiyyah
-Memperoleh keredhaan dan kerelaan daripada Allah swt.
-Tidak sesiapa yang akan mendapat kerelaan dan keredhaan Allah swt kecuali mendapat keredhaan Rasulullah saww., dan tidak ada seseiapa yang mendapat keredhaan Rasulullah saww kecuali melalui keredhaan Fatimah sa.
-Kerelaan Allah swt. ada pada kerelaan Zahra sa. dan kemarahan Allah swt. ada pada kemarahan Zahra sa.
Muhaddasah
-Yang memperoleh ucapan dan ungkapan daripada Allah swt dan malaikat.
Al-Batul
-Yang terputus daripada dunia.
-Beliau hanya fokus kepada Allah swt. dan akhirat.
-Fatimah sa. tidak pernah melihat sesuatu kecuali Allah swt. (kerana Allah swt. itu ada dimana-mana,dan kita tidak akan mampu lari atau bersembunyi daripadaNya)
-Fatimah sa. tidak pernah datang haidh dan nifas.
Ummu Abiha
-Ibu ayahnya
-Para isteri Rasulullah saww. digelar sebagai Ummul Mukminin tetapi Fatimah sa. digelar sebagai Bonda kepada ayahnya dimana ayahnya adalah sebaik-baik Mukmin maka Fatimah adalah sebaik-baik mukminah.
Ummul Aimmah
-Ibu para Imam as.
Al-Haniah
-Yang sangat lemah lembut.
Kauthar
-Kebaikan yang banyak.
-Apa pun yang keluar daripada Fatimah sa. mempunyai nilai yang tinggi dan tidak ternilai.
-Imam Jaafar Sodiq as. telah ditanya:Apakah maksud Haiya 'Ala Khairil 'Amal (marilah melakukan sebaik-baik amal),Amal yang terbaik itu apa?Imam as. menjawab : Amal yang terbaik itu adalah berbuat baik terhadap anak-anak Fatimah sa., keturunan Fatimah sa.
Haura'
-Bidadari.
-Rasul saww.:Fatimah sa. putriku adalah bidadari manusia, setiap kali aku merindui syurga, aku akan mencium Fatimah sa.
-Surah Ad-Dahr/Al-Insan, turun untuk memuji keluarga Fatimah sa. ketika mereka menginfakkan makanan mereka untuk orang miskin, anak yatim dan tawanan.Kemudian Allah swt juga menjelaskan kenikmatan syurga.Selalunya ayat yang menceritakan kenikmatan syurga akan menyebut tentang bidadari tetapi didalam surah ini tidak disebut.
Imam Baqir as. telah ditanya tentang ini,Imam as. menjawab : kerana surah ini turun untuk nenekku Fatimah sa. dan kerana Allah swt. memuliakan Fatimah sa.,maka tidak menceritakan tentang bidadari kerana Fatimah sa. itu lebih mulia daripada bidadari.
Badh'atun Nabi
-Sebahagian daripada Rasulullah saww.
Sayyidatun Nisa
-Sayyidatun Nisa Il 'Alamin, Sayyidatun Nisai Ahlil Jannah dan Sayyidatun Nisail Mukminin -> Penghulu seluruh wanita.
Ummul Hasanain
-Ibu Hassan as. dan Husain as.
-Hassan dan Hussain (alaihimassalam) adalah penghulu pemuda di Syurga.
-Rasulullah saww. :Sesiapa yang mencintai mereka berdua,ibu dan ayah mereka,maka dia akan bersamaku di Syurga.
Nun jauh di sana, di Roma, tatkala hening meranggas di istana yg megah, dan satwa-satwa malam sedang menyelenggarakan konser rutin di semak-semak kebun yang rimbun dan basah, tiba-tiba sang kasiar terjaga dengan wajah kutu bersimbah peluh lalu memanggil-manggil juru takwil mimpi yang tak lagi diingat namanya. Dengan tergopoh-gopoh, sang penakwil berlari menghadap juragannya yang terbujur lunglai di atas ranjangnya. “Hai,” teriaknya membahana. “Dalam tidurku kuliaht kerajaan Romawi tumbang dan istananya runtuh lalu berubah menjadi tumpukan puing yang betapa mengerikan,” tanyanya tersengal-sengal. Penakwil tua itu menundukkan kepala sambil berbisik: “Baginda, telah terlahir bayi di Arabia bernama MUHAMMAD’.
Di lorong Salam yang tenang,
di sepetak bangunan yang remang
di bilik sempit yang temarang,
di kampung Tihamah yang lengang
di jantung Bakkah yang gersang,
di persada Jazirah yang kerontang…
sinar misterius menghunjam persada dan membedah malam pertengahan Rabi’ul awwal,
sebuah jeritan bayi malakuti melambung dan mengoyak angkasa Ummul-Qura
gemerincing lampu-lampu kristal istana Khosro Parwiz mengisyaratkan sebuah peristiwa
…dentang-dentang lonceng raksasa gereja Roma mengumandangkan sebuah warta
…debam-debam gajah-gajah Abrahah yang berjatuhan beradu bagai genderang laga
…kelepak sayap merpati di atas Mekkah yang menari bersusulan laksana rebana pesta
lalu terdengar kumandang …
selamat menggigil, cukong-cukong tamak…
selamat berhamburan, tuhan-tuhan bertulang…
selamat berjatuhan, raja-raja jorok…
selamat ketakutan, seniman-seniman cabul di pasar Ukaz
selamat bangkrut, saudagar-saudagar budak
berpestalah, hai kuli-kuli gratis juragan-juragan Quraisy
bergembiralah, hai kaum buruh di ladang Umayyah
kumandangkan lagu kemerdekaan
gelarlah permadani merah demi menyambut MUHAMMAD!
Mentari menyingsing dan menyongsong,
purnama menyeruak dan menyapa,
gemintang berkilau dan menyambut,
pelangi berhias dan mendaulat
Ka’bah menyala san mengucapkan ’selamat datang’ ’selamat lahir’
kepada debur ombak rabbani yang bergulung menghempas buih syaitani
kepada desah nafas subuh yang berhembus lembut segarkan pori-pori fitrah
kepada rinai-rinai iman yang berguguran membilas sahara Hijaz
kepada sepoi-sepoi sejuk yang meniup pucuk dedaunan korma
kepada simponi tangkai zaitun yang bergesekan laksana biola
kepada mawa api tauhid yang menjilat gelap syirik
kepada untaian syair ilahi yang abadi
kepada rangkaian firman yang suci
kepada penguasa altar malakut yang menghadirkan gelegar dahsyat di lelangit
kepada kuasa Musa,
kasih Yesus,
damai Budha,
hikmah Socrates,
logika Aristo,
ide Plato,
aura Zoroaster
dan wibawa Lao Tse…
kepada pemuka para kohen, santo dan imam
kepada utusan Sang Khuda,
duta Sang Theos,
pewarta Sang Hyang dan Rasul Allah
kepada Sang Rahmat
kepada dia yang bernama MUHAMMAD!
Bertapa dalam gua gelap Tsur
bersemedi dalam lembah Hira
menggigil dalam kesendirian lereng Arafah
menggelinjang dalam asmara Lahut
menggigil dalam pelukan Sang Jalal
mengerang dalam kehangatan Sang Jamal
bergejolak dalam pesta malaikat
menanggalkan busana raga
hilang dalam Ada
kembali memasuki nasut
dilumuri kotoran onta di Haram
dilempar bebatuan bocah-bocah Thaif
bermandikan darah di Uhud
bersenda jenaka di hadapan yatim
menghibur para janda syuhada
berhariraya dengan gelandangan
bergaul dengan kaum cacat dan kusta
bersukacita didatangi tamu tuna netra
berjalan menunduk di keramaian
mencium tangan pekerja kasar
pemaaf kala berkuasa
membantu sebelum diminta
berbalik tubuh bila diseru
menegur tanpa menunggu
bermurah dengan senyum
menggali parit dan sumur
tidur dengan bantal batu
keluar masuk pasar
dan berseru akulah Sang Utusan
akulah MUHAMMAD
Kini lihatlah ia sedang melihat kita dengan mata kecewa
kita yang sedang nongkrong di atas fosil-fosil kebodohan
kita yang asyik harakiri dengan pornografi atas nama seni
kita yang makin trampil menjadi bangsa yang latah
kita yang sakau dengan korupsi dari rt sampai pejabat
kita yang sudah kehilangan etika ketimuran
kita yang menjadi konsumeris dan pemuja raga
kita yang sibuk mempertontonkan lakon anarkisme
kita yang sudah menjadi kue ulangtahun dalam pesta para musuh
kita yang tak lagi bisa hidup rukun dan menghargai perbedaan
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman: “Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhirâ“. Artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS. 33:33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syak (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).
Sebagian muslim beranggapan bahwa tafsir ahlulbayt pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw. Penafsiran itu terjadi karena awal ayat ini memang ditujukan kepada istri-istri Nabi, yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…“. Tafsir itu tidak benar karena kata ganti (personal pronoun atau dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbaitnya jelas berbeda; untuk istri-istri Nabi, kata gantinya mu`annats atau feminin, sedangkan untuk Ahlulbait kata gantinya mudzakkar atau maskulin.
Selain itu, penafsiran untuk istri-istri Nabi ini tidak bisa diterima karena penjelasannya bukan dari Rasulullah. Padahal, orang yang paling mengetahui tafsir ayat ini adalah Nabi saw sendiri. Dan Al-Quran juga telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firmanNya: “Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir“. (Al-Nahl:44).
“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl:64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS. 59:7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4:59).
Jika demikian, maka siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab ayat 33 ini menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Dalam hadis Sahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut:
Aisyah mengatakan: “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah, lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayt Nabiy; Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amir putra Abu Salamah–anak tiri Rasulullah–mengatakan: “Ketika ayat ini “innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira” diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain sedangkan Ali as berada di belakang beliau. Kemudian beliau mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa: “Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Ummu Salamah berkata: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?” Beliau bersabda: “Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husaun, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah as selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya“. (HR Al-Turmudzi 2:29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab Sunni bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu sebenarnya bukanlah istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sekalipun ayat itu penulisannya digabungkan dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw. Alasannya, terkadang terselip di dalam Al-Quran itu beberapa ayat madaniyah atau makiyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat di atas dan tentu saja para ulama telah memaklumi hal tersebut.
Surah Al-Syura:23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya: Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan? Lalu turunlah ayat: “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba“. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husain)”.
Ayat di atas telah mewajibkan seluruh manusia khususnya kaum Muslim untuk mencintai dan mengikuti keluarga Nabi atau Ahlulbait. Dan kecintaan kepada mereka adalah dasar dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda: “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku“. (Hadis). Dan membenci mereka akan menjadilan seluruh amal kita sia-sia dan menyeret kita ke dalam neraka. Nabi saw bersabda: “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan puasa kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati), sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut: “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim“. (Kitab Al-Mustadrak Shahihayn 3:148).
Surah Ali ‘Imran:61
Ayat ini disebut ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk bermubahalah dengan para pendeta Nasranim yaitu: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu
dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta“.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyaf berkata: “Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan: ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka: ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: ‘Demi Allah wahai umat Nasrani, kalian tentu tahu bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang bermubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti akan binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian, maka tinggalkan orang ini dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husain dan menuntun Hasan dan Fatimah berjalan di belakang beliau sedangkan Ali berjalan di belakang Fatimah. Nabi bersabda: “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah!”. Saat melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat Kristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan. Oleh karena itu, tinggalkan mubahalah ini sebab kalian akan celaka dan nantinya takkan tersisa seorang Kristen pun sampai hari kiamat”.
Akhirnya mereka berkata: “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda: “Jika kalian enggan bermubahalah, maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagaimana berlaku atas mereka (muslim yang lain).”
Surah Al-Maidah:55
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’“. (Al-Maidah: 55).
Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik oleh kalangan ulama Syi’ah maupun Ahlussunnah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as, dan sesuai dengan kajian para ahli tafsir dan hadis dari kalangan Syi’ah serta pengakuan ulama Ahlussunnah yang tidak sedikit, orang yang menyedekahkan cincinnya kepada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.
Allamah Mar’asyi dalam kitab-Nya Ihqâqul Haqq berpendapat bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Dengan riwayat-riwayat ini, jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu adalah Imam Ali as. Akan tetapi, yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Surah Al-Maidah:67 dan ayat 3
Peristiwa Ghadir berkaitan dengan sebuah momen yang terjadi di penghujung kehidupan Nabi saw. Peristiwa ini terjadi sewaktu beliau kembali dari menunaikan haji Wadâ’. Peristiwa besar ini terjadi di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Tempat ini adalah tempat berpisahnya para jamaah haji dari Mesir, Irak, dan para jamaah haji yang berangkat dari Madînah.
Pada tahun ke-10 H, Nabi saw bersama sekelompok besar dari sahabatnya pergi ke Mekah untuk menunaikan haji. Setelah menunaikan ibadah tersebut, beliau memberi titah kepada para sahabat untuk kembali ke Madînah. Namun, ketika rombongan sampai di kawasan Râbigh, sekitar tiga mil dari Juhfah, Jibril datang dan turun menjumpai Rasul di Ghadir Khum dengan menyampaikan misi dan wahyu dari Tuhan:
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, dan (ketahuilah) Allah akan menjagamu dari manusia.” (Al-Maidah: 67)
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berhenti dan menyuruh mereka yang telah berlalu untuk kembali serta memerintahkan untuk menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saat itu adalah waktu Zuhur. Hawa sangat panas sekali dan mimbar pun didirikan. Shalat Zhuhur didirikan secara berjamaah. Kemudian setelah semua berkumpul, beliau berdiri di atas mimbar setinggi 4 onta, dan dengan suara lantang beliau berpidato:
“Segala puji bagi Allah, dari-Nya kita minta pertolongan, dan kepada-Nya kita beriman dan berserah diri, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan amal perbuatan kita. Tuhan yang tiada pembimbing dan pemberi hidayah selain-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, tidak akan ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Aku bersaksi bahwa tiada yang layak disembah selain-Nya, dan Muhammad adalah utusan dan Hamba-Nya.
Wahai Manusia, sudah dekat rasanya aku akan memenuhi panggilan-Nya, dan akan meninggalkan kalian. Aku akan dimintai pertanggung jawaban, kalian pun juga demikian. Apakah yang kalian pikirkan tentang diriku?”
Lalu mereka menjawab:
“Kami bersaksi bahwa anda telah menjalankan dan berupaya untuk menyampaikan misi yang anda emban. Semoga Allah swt memberi pahala kepadamu.”
Nabi saw melanjutkan:
“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan Muhammad adalah hamba sekaligus Nabi-Nya, surga, neraka, dan kehidupan abadi di dunia lain adalah benar dan pasti?” Lalu mereka menjawab lagi: “Iya, kami bersaksi”.
Kemudian Nabi saw berkata:
“Wahai manusia, aku akan menitipkan dua hal berharga pada kalian supaya kalian beramal sesuai dengan dua hal tersebut”.
Pada saat itu, berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, “Apa kedua hal tersebut?”
Nabi saw menjawab:
“Pertama adalah kitab suci Allah di mana satu sisinya berada di tangan-Nya, sedang yang lain berada di tangan kalian, sedang hal lainnya yang akan aku titipkan pada kalian adalah itrah dan Ahlul Baytku. Tuhan telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua hal tadi tidak akan berpisah sampai kapanpun. Wahai manusia, janganlah kalian mendahului Al-Qur’an dan Itrahku dan sekali-kali janganlah kalian tinggalkan keduanya, karena kalian akan binasa dan celaka”.
Tak lama Kemudian nabi mengangkat tangan Ali as setinggi-tingginya sehingga tampaklah sisi bawah tangan dari kedua pribadi yang agung itu dan beliau memperkenalkan Imam Ali kepada khalayak seraya berkata:
“Wahai manusia, siapa gerangan yang lebih layak dan lebih berhak terhadap kaum Mukminin dari pada mereka sendiri?”
Mereka menjawab:
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
Nabi saw berkata:
“Sesungguhnya Allah maulâ-ku dan aku adalah maulâ bagi mukminin, dan aku lebih berhak atas diri mereka ketimbang mereka. Maka barangsiapa yang maulâ-nya adalah diriku, maka ketahuilah bahwa Ali adalah maulâ-nya”.
Sesuai dengan penuturan Ahmad bin Hanbal, nabi mengulang ungkapan ini sebanyak empat kali. Kemudian beliau melanjutkan dengan do’a:
“Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya, kasihanilah mereka yang mengasihinya, murkailah mereka yang membuatnya murka, tolonglah mereka yang menolongnya, hinakanlah mereka yang menghina dan merendahkannya, dan jadikanlah ia sebagai sendi dan poros (mihwar) kebenaran”.
Setelah selesai dan sebelum khalayak berpencar, Jibril datang kembali dengan membawa wahyu: “Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…” (QS. 5: 3) dan pada saat itu Rasulullah bersabda, “Maha Besar Allah atas penyempurnaan agama dan nikmat. Ia telah ridha dengan misiku dan kepemimpinan Ali as setelahku.” Atas dasar ini, apakah ada penafsiran lain selain imâmah dan kepemimpinan Ali as dari penyempurnaan agama dan nikmat itu?
Koreksi Sanad Hadis
Hadis Al-Ghadir adalah salah satu hadis yang sangat populer, baik dalam Syi’ah maupun Ahlussunnah. Sebagian ahli hadis mengklaim bahwa hadis ini adalah mutawâtir. Selain para ulama Syi’ah, sekelompok ulama Ahlussunnah pun secara independen membahas dan mengenalisanya, seperti: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (wafat 310 H.), Abu Abbas Ahmad bin Ahmad bin Said Hamadani (wafat 333 H.), dan Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Salim Tamimi Baghdadi (wafat 355 H.). Dan masih banyak lagi. (Lihat: Allamah Amini, jilid ke-1 kitab al-Ghadîr hal. 152-157, beliau telah menyebutkan nama-nama ulama yang menulis kitab untuk mengomentari dan menganalisa hadis ini. Beliau juga menjelaskan metode yang digunakan oleh para penulis tersebut di dalam memaparkan penjelasannya.
Untuk lebih memperjelas sejauh mana perhatian tâbi’în dan tâbi’ut-tâbi’în serta para ilmuwan dan fuqaha terhadap penukilan hadis ini dan kesahihan sanad-Nya, kami bawakan secara singkat sejumlah perawi hadis ini dari Ahlussunnah di setiap abad. Untuk membahasnya lebih detail, bisa dirujuk kepada kitab-kitab yang memuat hal ini lebih jauh. Para penukil hadis ini adalah:
1. 110 sahabat.
2. 84 tâbi’în.
3. 56 ulama abad kedua.
4. 92 ulama abad ketiga.
5. 43 ulama abad keempat
6. 24 ulama abad kelima.
7. 20 ulama abad keenam.
8. 20 ulama abad ketujuh.
9. 19 ulama abad kedelapan.
10. 16 ulama abad kesembilan.
11. 14 ulama abad kesepuluh.
12. 12 ulama abad kesebelas.
13. 13 ulama abad keduabelas.
14. 12 ulama abad ketigabelas.
15. 19 ulama abad keempatbelas.
Para muhaddis atau ahli hadis Ahlussunnah yang menukil hadis ini diantaranya adalah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibânî dengan 40 sanad, Ibn hajar al-’Asqallânî dengan 25 sanad, al-Jazri Syafi’î dengan 80 sanad, Abu Said as-Sajistani dengan 120 sanad, Amir Muhammad al-Yamani dengan 40 sanad, Nasai dengan 250 sanad, Abu Ya’la al-Hamadani dengan 100 sanad, Abul ‘Irfân Haban dengan 30 sanad. Jumlah ini diambil dari buku Al-Ghadîr jilid pertama. Sedang pembahasan sanad hadis ini terdapat pada kitab-kitab tersendiri, di antaranya Ghâyatul Marâm, karya Allamah Sayyid Hasyim al-Bahrânî (wafat 1390), dan Al-’Aqabât, karya Sayyid Mir Hamid Husain Hindi (wafat 1306).
Dengan demikian, peristiwa Ghadir Khum dan pelantikan yang dilakukan oleh Nabi saw merupakan salah satu kejadian yang pasti dalam sejarah, sehingga siapapun yang mengingkarinya, maka dia takkan bisa menerima peristiwa historis lainnya.
Arti Hadis
Poin utama dari hadis ini adalah penggalan riwayat yang berbunyi “man kuntu maulâh fa ‘Aliyun maulâh”. Dengan memperhatikan berbagai konteks yang ada, maksud dari kata maulâ dalam hadis ini berarti aulâ (lebih utama). Pada akhirnya, hadis ini mengindikasikan bahwa Ali as adalah wali setelah Nabi dan penanggung jawab kaum muslimin dan ia lebih utama dari diri mereka. Konteks-konteks (qarînah) tersebut adalah:
1. Di pembukaan hadis Nabi saw bersabda, “Tidakkah aku terhadap diri kalian lebih utama dari diri kalian sendiri?” Ungkapan setelahnya yang mengatakan man kuntu maulâhu berdasar pada ungkapan ini. Dengan demikian, keserasian keduanya memberikan pengertian di sini bahwa maulâ berarti awlâ dalam mengurusi urusan muslimin (tasharruf).
2. Pada akhir hadis Rasul bersabda, “Allôhumma wâli man wâlâh”. Doa ini merupakan penjelasan atas kedudukan Imam Ali as dan hal ini dapat bermakna sebagaimana mestinya jika wali itu berarti kepemimpinan dan wilayah.
3. Rasulullah saw meminta penyaksian dari khalayak dan ungkapan “man kuntu …” dalam kontek penyaksian terhadap keesaan Allah swt dan kerasulan. Sehingga nilai tersebut (yakni kewalian Ali as) dapat dipahami dari konteks tadi, yakni penyaksian atas keesaan Allah dan kerasulan).
Selain konteks-konteksyang telah disebutkan ini, masih terdapat konteks-konteks lain yang mengindikasikan keagungan misi yang harus disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu.
Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak ada keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS, maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”.
Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama Fathimah tersebut. Salah satu pengikut Imam Jakfar as-Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah maka hati-hatilah. Jangan sampai engkau memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Wanita mulia nan agung yang menjadi kekasih Allah dan Rasul-Nya itu bernama Fathimah. Keagungannya telah dinyatakan oleh manusia termulia dan makhluk Allah teragung, Muhammad SAW yang segala pernyataannya tidak mungkin salah. Pada kesempatan ini, kita akan melihat beberapa sebutan mulia bagi wanita agung tersebut, disamping banyak nama dan sebutan lagi yang disematkan pada pribadi kekasih Allah dan Rasul-nya itu. Di antaranya ialah;
A-Fathimah
Syaikh Shaduq dalam kitab “I’lall Asy-Syara’i” dan Allamah al-Majlisi dalam kitab “Bihar al-Anwar” telah menukil riwayat dari Imam Jakfar bin Muhammad as-Shadiq AS, bahwasanya beliau bersabda: “Sewaktu Sayidah Fathimah Zahra AS terlahir, Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk turun ke bumi dan memberitahukan nama ini kepada Rasulullah. Maka Rasulullah SAW pun memberi nama Fathimah kepadanya.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)
Dari segi bahasa ’fathama’ berarti “anak yang disapih dari susuan”. Dalam sebuah riwayat dari Imam Muhammad bin Ali al-Baqir AS telah dinyatakan bahwa, setelah kelahiran Fathimah Zahra AS, Allah SWT berfirman kepadanya: “Sesungguhnya aku telah menyapihmu dengan ilmu, dan menyapihmu dari kototan (Inni fathamtuki bil ilmi wa fathamtuki a’nith thomats)”. Hal ini seperti seorang bayi sewaktu disapih dari susu maka ia memerlukan makanan lain sebagai penggantinya. Dan Sayidah Fathimah Zahra AS setelah disapih, sedang makanan pertamanya berupa ilmu.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)
Imam Ali bin Musa ar-Ridho AS telah meriwayatkan hadis dari ayahnya, dimana ayahnya telah meriwayatkan dari para leluhurnya hingga sampai ke Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda: “Wahai Fathimah, tahukan engkau kenapa dinamakan Fathimah?”. Kemudian Imam Ali AS bertanya: “Kenapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Karena ia dan pengikutnya akan tercegah dari api neraka”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 14). Atau dalam riwayat lain beliau bersabda: “Karena terlarang api neraka baginya dan para pecintanya”.( Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 15)
Imam Ali bin Abi Thalib AS bersabda, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Ia dinamakan Fathimah karena Allah SWT akan menyingkirkan api neraka darinya dan dari keturunannya. Tentu keturunannya yang meninggal dalam keadaan beriman dan meyakini segala sesuatu yang diturunkan kepadaku.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18-19)
Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak terdapat keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 10)
Dalam beberapa sumber telah dijelaskan bahwa nama Fathimah merupakan nama yang sangat disukai oleh para Maksumin (Ahlu-Bayt) AS. Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama tersebut. Salah satu pengikut Imam Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah, maka hati-hatilah jangan sampai memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Salah seorang pengikut Imam Shadiq AS berkata: “Pada suatu hari dengan raut muka sedih, aku telah menghadap Imam Shadiq AS. Beliau bertanya: “Kenapa engkau bersedih?”. Aku menjawab: anakku yang terlahir adalah perempuan. Beliau bertanya kembali: “Engkau beri nama apa ia?”. Aku menjawab: “Fathimah”. Beliau kembali berkata: “Ketahuilah jika engkau telah menamainya Fathimah, janganlah engkau berkata buruk kepadanya dan janganlah memukulnya”.”(Wasa’il as-Syi’ah jilid 15 halaman 200)
B-Zahra
Zahra, artinya ialah “yang bersinar” atau “yang memancarkan cahaya”. Imam Hasan bin Ali al-Askari (imam ke-11) bersabda: “Salah satu sebab Sayidah Fathimah dinamai az-Zahra karena tiga kali pada setiap hari beliau akan memancarkan cahaya bagi Imam Ali AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 11) Memancarkan cahaya bagaikan matahari pada waktu pagi, siang dan terbenam matahari.
Dalam riwayat lain Imam Shadiq AS bersabda: “Sebab Sayidah Fathimah dinamakan Zahra karena akan diberikan kepada beliau sebuah bangunan di surga yang terbuat dari yaqut merah. Dikarenakan kemegahan dan keagungan bangunan tersebut maka para penghuni surga melihatnya seakan sebuah bintang di langit yang memancarkan cahaya, dan mereka satu sama lain saling mengatakan bahwa bangunan megah bercahaya itu dikhususkan untuk Fathimah AS.”
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa, orang-orang telah bertanya kepada Imam Shadiq AS: “Kenapa Fathimah AS dinamakan Zahra?” Beliau menjawab: “Karena sewaktu beliau berada di mihrab (untuk beribadah) cahaya memancar darinya untuk para penghuni langit, bagaikan pancaran cahaya bagi para penghuni bumi.” (Namha wa Alqaab Hadzrate Fathimah Zahra halaman: 22)
C-Muhaddatsah
Muhaddatsah, artinya ialah “orang yang malaikat berbicara dengannya”. Telah dijelaskan bahwasanya para malaikat dapat berbicara dengan selain para nabi atau para rasul. Dan orang-orang selain para nabi dan rasul itu dapat mendengar suara dan melihat para malaikat. Sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT telah menjelaskan bahwasanya Mariam bin Imran AS (bunda Maria) telah melihat malaikat dan berbicara dengannya. Hal ini telah disinyalir dalam surah al-Imran ayat 42, “Dan (Ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, Sesungguhnya Allah Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”
Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq AS bersabda: “Fathimah dijuluki muhaddatsah karena para malaikat selalu turun kepadanya, sebagaimana mereka memanggil Mariam AS, berbicara dengannya, dan mereka mengatakan: “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah SWT telah memilihmu, mensucikanmu dan memilihmu atas perempuan seluruh alam”. Para malaikatpun menyampaikan kepada Fathimah Zahra AS tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang, raja-raja yang akan berkuasa, dan hukum-hukum Allah SWT. Fathimah Zahra AS meminta kepada Imam Ali AS untuk menulis semua perkara yang telah disampaikan para malaikat kepadanya. Serta jadilah kumpulan tulisan tersebut dinamakan dengan mushaf Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 43)
Imam Shadiq AS telah berkata kepada Abu Bashir: “Mushaf Fathimah berada pada kami. Dan tiada yang mengetahui tentang isi mushaf tersebut….mushaf tersebut berisikan hal-hal yang telah diwahyukan Allah SWT kepada ibu kami, Fathimah Zahra AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43, Fathimah az-Wiladat to Syahadat halaman 111)
D-Mardhiyah
Mardiyah, artinya ialah “orang yang segala perkataan dan perilakunya telah diridhoi Allah SWT”. Adapun sebab beliau dijuluki dengan julukan mardiyah karena bersumber pada beberapa hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW berkaitan dengan kedudukan Sayidah Fathimah Zahra AS, dimana beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT murka atas murka-mu dan ridho atas keridhoan-mu.” (Riwayat dengan kandungan seperti ini bisa didapati pada beberapa sumber seperti, Mustadrak ash-Shahihain jilid 3 halaman 153, Kanzul Ummal jilid 6 halaman 219, Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 72, Dzakhairu al-‘Uqba halaman 39)
Catatan: Tentunya hadis-hadis Rasulullah tentang Sayidah Fathimah Zahra AS itu bukanlah berasal dari hawa nafsu dan atas dasar nepotisme seorang ayah terhadap anaknya. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an beliau tidak mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an: “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS an-Najm:3). Maka hadis-hadis itu sebagai bukti akan keistimewaan Fathimah Zahra AS dimata Allah dan Rasul-Nya.
E-Siddiqah Kubra
Shiddiqah, artinya ialah “seorang yang sangat jujur”, orang yang tidak pernah berbohong. Atau orang yang perkataannya membenarkan prilakunya. (Lisanul Arab dan Taajul Aruus)
Pada waktu menjelang kepergian (wafat) Rasulullah SAW, beliau berkata kepada Ali AS: “Aku telah menyampaikan berbagai masalah kepada Fathimah. Benarkan (percayailah) segala yang disampaikan Fathimah, karena ia sangat jujur.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 490)
Dalam sebuah hadis bahwasanya Ummulmukminin Aisyah berkata: “Tidak aku dapatkan seseorang yang lebih jujur dari Fathimah, selain ayahnya.” (Hilyatul Auliya’ jilid 2 halaman 41 dan atau Mustadrak as-Shahihain jilid 3 halaman 16)
Dan kedudukan ini (Shiddiqiin) berada pada tingkatan para nabi, syuhada dan shalihin sebagaimana yang telah disinyalir al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa : 6
Rasulullah SAW berkata kepada Imam Ali AS: “Tiga hal berharga telah dihadiahkan kepadamu, dan tidak seorangpun yang mendapatkannya termasuk aku; Engkau memiliki mertua seorang rasul, sementara aku tidak memiliki mertua sepertimu. Engkau memiliki istri yang sangat jujur (shiddiqqah) seperti putriku, sementara aku tidak memiliki istri sepertinya. Engkau dikaruniai anak-anak seperti Hasan dan Husein, sementara aku tidak dikaruniai anak-anak seperti mereka. Namun demikian engkau berasal dariku dan aku berasal darimu.” (Ar-Riyadhu an-Nadrah jilid 2 halaman 202)
F-Raihanah
Dalam sebuah riwayat berkaitan dengan putrinya, Rasulullah SAW bersabda: “Fathimah merupakan wewangianku. Ketika aku merindukan bau surga maka aku akan mencium Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 35 halaman 45, dan kandungan hadis semacam ini pun bisa didapati dalam tafsir Ad-Durrul Mansur Suyuthi)
G-Bathul
Ibnu Atsir dalam karyanya yang berjudul “An-Nihayah” menyatakan: “Kenapa Fathimah dijuluki Al-Bathul? Karena beliau dari segi keutamaan, agama, dan kehormatan lebih dari para perempuan yang ada pada zamannya. Atau karena beliau telah memutuskan hubungannya dengan dunia dan hanyalah mencari kecintaan Allah SWT.” (Hadis dengan redaksi semacam ini juga dapat kita jumpai pada kitab-kitab seperti; Maanil Akhbar hal 54, Ilalu Asy-Syarai’ hal 181, Yanaabi’ al-Mawaddah hal 260)
Dalam kitab “al-Manaqib” pada jilid 3 halaman 133 dijelaskan bahwa seseorang telah bertanya kepada Rasulullah; “Kenapa seseorang dijuluki al-Bathul? Beliau menjawab: “Yaitu perempuan yang tidak keluar darinya darah haid. Sesungguhnya hal itu tidak layak bagi para putri para nabi (lain).” (Al-Manaqib jilid 3 halaman 133, Al-awalim jilid 6 halaman 16)
H-Rasyidah
Rasyidah, artinya ialah “wanita yang telah dianugrahi petunjuk”, selalu berada dalam kebenaran dan pemberi petunjuk bagi yang lain. Rasulullah SAW telah memberikan julukan ini kepada putrinya, Fathimah AS. Dalam sebuah riwayat telah dijelaskan bahwasanya Imam Ali AS bersabda: “Beberapa saat sebelum kepergian Rasulullah (wafat), beliau telah memanggilku. Beliau bersabda kepadaku dan Fathimah: “Ini hanutku (ialah kapur barus yang dioleskan ke anggota sujud seorang jenazah, red) yang telah dibawakan Jibril dari surga untukku. Beliau telah menitip salam untuk kalian berdua dan berkata: “Engkau harus membagikan hanut ini, dan ambillah untukmu. Pada saat itu Fathimah AS berkata: “1/3-nya untuk engkau wahai ayahku. Sedang sisanya, biarlah Ali sendiri yang memutuskannya”. Mendengar itu Rasulullah menangis dan memeluk putrinya seraya bersabda: “Engkau adalah wanita yang telah dianugrahi taufiq (pertolongan khusus) dan rasyidah (petunjuk) yang telah mendapatkan ilham dari-Nya, dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Pada saat itu pula Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, katakan padaku tentang sisa hanut tersebut”. Aku (Ali) berkata: “Setengah dari yang tersisa ialah untuk Zahra (Fathimah). Dan berkaitan dengan sebagian lainnya apa perintahmu, ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW bersabda: “Sisanya untukmu, maka peliharalah.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 492)
I-Haura Insiyah (bidadari berbentuk manusia)
Sebelum Rasul melakukan salah satu mi’rajnya(dari beberapa riwayat disebutkan Rasulullah tidak melakukan mi’raj sekali saja, bahkan berkali-kali red), Atas perintah Allah SWT, beliau tidak diperkenankan untuk menemui (mengumpuli) istrinya selama 40 hari. Dan pada hari terakhir beliau dalam mi’raj-nya memakan buah-buahan seperti; kurma dan apel yang berasal dari surga. Seusai beliau memakan buah-buahan yang berasal dari surga itu lantas beliau menemui (mengumpuli) istrinya Sayidah Khadijah AS. Dan dari nutfah (sperma) yang berasal dari buah-buahan surga itulah, Sayidah Khadijah AS mengandung janin Sayidah Fathimah Zahra AS. Oleh karena itu, Sayidah Fathimah Zahra AS dijuluki ‘haura Insiyah’ (bidadari berbentuk manusia). (Tafsir Furat Kufi halaman 119, Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18, riwayat-riwayat semacam inipun bisa didapati dalam sumber-sumber Ahlusunah seperti; Ad-Durrul Mansur, Mustadrak Shahihain, Dzakhairu al-Uqbah, Tarikh Bagdadi dsb)
Haura insiyah, artinya ialah “bidadari yang berbentuk manusia”, para wanita surga dinamakan bidadari karena putih dan hitam matanya sangat elok dan menarik sekali. Oleh karena itu, seorang wanita yang memiliki mata yang sangat elok seperti bidadari, dijuluki bidadari. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 5)
J-Thahirah
Thahirah berarti yang “suci atau maksum dari dosa dan kesalahan”. Hal ini karena beliau telah disucikan dari salah dan dosa, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 33, “… Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Berdasarkan ayat di atas Allah SWT telah mensucikan Ahlu-Bayt Nabi SAW. Dan salah satu dari Ahlu-Bayt Nabi SAW tersebut adalah Sayidah Fathimah AS. Ayat di atas diturunkan berkaitan dengan “Ashhabul Kisa” (penghuni kain), yaitu Rasulullah, Imam Ali, Sayidah Fathimah Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein. Hal ini dapat dirujuk dalam berbagai sumber seperti, Tafsir at-Thabari, Tafsir Ad-Durrul Mansur, Tarikh al-Bagdadi, Tafsir al-Kasyaf, Usudul Ghabah…
Nafasku tersekat dalam tangisan
Duhai, mengapa nafas tak lepas bersama jeritan
Sesudahmu tiada lagi kebaikan dalam kehidupan
Aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan
Kala rinduku memuncak, kujenguk pusaramu dengan tangisan
Aku menjerit meronta tanpa mendapatkan jawaban
Duhai yang tinggal di bawah tumpukan debu, tangisan memelukku
Kenangan padamu melupakan daku dari segala musibat yang lain
Jika engkau menghilang dari mataku ke dalam tanah,
engkau tidak hilang dari hatiku yang pedih
Berkurang sabarku bertambah dukaku
setelah kehilangan Khatamul Anbiya
Duhai mataku, cucurkan air mata sederas derasnya
jangan kautahan bahkan linangan darah
Ya Rasul Allah, wahai kekasih Tuhan
pelindung anak yatim dan dhuafa
Setelah mengucur air mata langit
bebukitan, hutan, dan burung
dan seluruh bumi menangisDuhai junjunganku,
untukmu menangis tiang-tiang Ka’bah
bukit-bukit dan lembah Makkah
Telah menangisimu mihrab
tempat belajar Al-Quran di kala pagi dan senja
Telah menangisimu Islam
sehingga Islam kini terasing di tengah manusia
Sekiranya kau lihat mimbar yang pernah kau duduki
akan kau lihat kegelapan setelah cahaya
Bi Abi Anta wa Ummi
Biarlah ayah bundaku jadi tebusanmu, ya Rasul Allah
Terhenti karena ketiadaanmu apa yang tak terhenti karena ketiadaan yang lain
terhenti sudah nubuwwah, wahyu, dan berita dari langit
Kau begitu khusus bagi kami
sehingga jadilah kau penghibur kami dari selainmu
Kau juga begitu terbuka bagi semua
sehingga semua berbagi derita atas kepergianmu Sekiranya tidak kau perintahkan kami bersabar
jika tak kau larang kami berduka cita
akan kami alirkan gelombang air mata
Tapi walau begitu, sakit kami tak kunjung sembuh, derita kami takkan berakhir
Sakit dan derita kami terlalu kecil ketimbang kepedihan karenamu
Kepergianmu tak mungkin dikembalikan
kematianmu tak bisa dihindarkan
Bi Abi Anta wa Ummi
Kenanglah kami di sisi Tuhanmu
dan simpan kami dalam hatimu